Lawanku adalah Waktu

"Kira - kira nanti siapa yang pergi lebih dulu ya?" tanyanya dengan tiba tiba saat senja mulai menampakkan dirinya.

"Kenapa harus ada yang pergi?"

"Entah, sesuatu yang indah itu cuma sementara kan? nanti juga akan disusul oleh kesedihan. Kita ini sedang dikejar."

"Dikejar? Sama siapa?" Aku kebingungan.

"Dikejar sama waktu yang membawa kita dalam perpisahan,"

Ia menoleh dan menatapku dengan dalam, "Masih kuat berlari denganku selamanya?"

"Berlari?" Aku membalas tatapannya.

"Tak akan kubiarkan waktu menangkap kita, Mutiara. Akan kupastikan yang indah bisa selamanya. Kita akan selalu dua langkah lebih maju dari waktu,"

"Sampai kapan kita berlari dan tak menghiraukan bahwa kita hanya menunda sebuah perpisahan? Selamanya itu bukan waktu yang sebentar,"

"Memang. Siapa juga yang ingin denganmu hanya sebentar? Kalau ada waktu yang lebih lama dari selamanya, aku mau yang itu,"

Aku terdiam mendengarnya, lalu kembali menatap langit. Setiap kata yang ia ucapkan memang selalu berhasil membuatku tak mampu berkata kata. Dan lihat si senja itu, hari ini ia menghiasi langit dengan warna merah yang begitu manja. Seakan ia tahu akan apa yang sedang aku rasakan.

"Makan yuk?" tanyanya sembari menggenggam tanganku

"Makan? tapi aku..."

"Menyaksikan senja selamanya denganku itu butuh tenaga ekstra," sangkalnya dengan senyuman manis.

•••

...Siapa sangka, ternyata tenaga ekstra itu bukan untuk menyaksikan senja bersama selamanya, melainkan menunggu kepulangannya. Percakapan singkat pada senja sore itu berujung dengan penantian yang panjang. Sebuah penantian yang membuatku sadar bahwa menunggu adalah kegiatan yang paling menyebalkan.

Karena beberapa darinya bisa saja tak kembali untuk memberi sebuah pertemuan, melainkan sebuah perpisahan. Aku takut itu terjadi, tapi aku masih yakin, aku bisa bertemu dengannya. Pasti.


—Mutiara

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jatuh Cintalah pada Penulis

Teruntuk Jiwa yang Rapuh

Taruhan Paling Serius