Posts

Biruđź’™

Jujur, aku enggak suka sama warna biru. Aku suka warna merah muda. Karena cantik. Tapi sengaja aku tulis judulnya “Biru” karena, Karena dia suka warna biru! Ya, pada dasarnya memang aku bertolakbelakang dengan dia. Tapi aku sama dia juga sama-sama suka dengar lagu “Biru” milik Banda Neira di mobil. Bahkan sebelum lagu itu menjadi soundtrack milik Dua Garis Biru, aku sama dia sudah lebih dulu tahu. Bahkan kami tahu sebelum Banda Neira resmi bubar. Semua hal sudah aku katakan padanya—pengagum biru. Namun ada satu hal yang tak ia mengerti. Ia tak mengerti bahwa mimpi buruk ini ternyata telah dimulai. Ia lupa tentang mimpi buruk. Ia lupa bagaimana mimpiku saat ia berkata, “Maaf sayang, aku harus pergi.” Sudah kuucap semua pinta sebelum ku memejamkan mata, tapi selalu saja ia tetap harus pergi. Banyak yang tak ku ahli, Begitu pula menyambutnya untuk pergi. Katanya mimpiku akan terwujud, ia bohong! Mimpiku tetap semu.

untuk aku versi lain

Dear Nathan, its been a while. you’re my favorite way to pass the time. but time stands still when you’re on my mind i love you. -✨

Obsessive Compulsive Disorder

Ketakutan manusia tidak hanya pada ketinggian, tenggelam, kegelapan, laba-laba, atau kecoa terbang. Aku lebih takut untuk berpisah. Pernah sekali, dua kali, tidak—beberapa kali, aku membangun tembok tak kasat mata agar pondasi untukku kembali kuat tetap terbangun. Begitu nyamannya aku akan kesendirian, namun tak selamanya kesendirian dapat membelenggu diriku untuk hidup. Aku lebih takut untuk menjadi diriku sendiri. Menunjukkan segala kekurangan dan kelemahan. Aku takut ketika suatu saat kelemahanku terlihat, mereka tak lagi menganggapku Mutiara yang istimewa. Aku tahu. Ada beberapa orang yang tidak benar-benar peduli, mereka hanya penasaran, mereka hanya ingin tahu untuk bisa menusuk, mereka hanya ingin tahu untuk bisa mendekati seseorang lain. Dibohongi, disakiti, dikhianati itu adalah serangkaian resiko hidup yang tak bisa dihindari. Aku mengerti, aku betul-betul mengerti. Aku memang terlalu percaya kepada semua orang namun menurutku tidak ada yang salah dari terlalu perca

Sebelum Akhirnya (2)

Kita pada akhirnya kembali dipisahkan oleh semesta, dengan rencananya yang tak pernah kita duga. Kita pada akhirnya harus mampu menerima segala hal, usai waktu yang kita ulur agar perpisahan itu tak akan terjadi. Kita pada akhirnya sampai pada sebuah pehamaman, yang terbentuk dari sebuah renungan selama sembilan tahun terakhir. Kita telah sampai pada titik itu. Titik dimana kenyataan lebih menelik untuk memecah kita yang berada dalam satu warna, satu cerita, dan satu kata. Untuk kamu yang pernah aku sebut sebagai 'hujan', terimakasih. Terimakasih karena aku sekarang tahu bahwa hujan mengajarkan kita untuk mengikhlaskan sebuah kehilangan. Cinta tak selamanya harus disimpan, kadang harus dilepaskan untuk mendapat kebebasan. Bukan. Ikhlas itu bukan merelakan. Ikhlas itu memindahkan sesuatu yang kita cintai ke tempat yang lebih baik, tempat yang bisa membuatnya bahagia. Seperti katamu tentang hukum aksi dan reaksi. Bilamana aku merindukanmu, kamu mau merindukanku

Taruhan Paling Serius

Aku masih ingat kata-katamu saat kita duduk berdua tanpa kata. Memandang langit senja yang kian lenyap dimakan petang. Kau bilang, "Tidak apa-apa aku pergi. Tak perlu ada yang dikhawatirkan karena aku tak akan pernah hilang." "Kau akan hilang, aku juga akan hilang. Tak akan ada yang kekal dari kita. Hanya kenangan yang mampu teringat," jawabku. Ia tertawa. "Kau yakin aku akan hilang?" wajahnya yang menjengkelkan itu membuatku mau-tak mau menanggapinya. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. "Baiklah. Mari kita taruhan!" manik matanya yang menatapku dengan sorot berbinar-binar, seolah memang berniat taruhan. "Taruhan? Maksudmu?" Ia meraih tangan kananku paksa, lalu menjabatnya dengan tangan kanannya sendiri. "Aku taruhan. Walaupun pada kehidupan selanjutnya, pada ratusan pasang reinkarnasi dan skenario yang bermacam rupa. Tapi aku yakin aku tetap akan jatuh cinta padamu seperti pertama kali kita bertemu. Kita menjadi tu

Starbucks Cik Ditiro

Kafe yang masih tergolong kafe baru di daerah Menteng, lokasinya yang ter distract  dengan kafe dan restoran hits  lain mungkin menjadi penyebab mengapa Starbucks ini hanya ramai pada waktu-waktu tertentu saja. Sampai sekarang, aku nggak habis pikir kenapa selalu dipertemukan dengan tempat-tempat seperti ini—tempat sepi yang aku temukan sendiri, tempat sepi yang hanya aku yang tahu. Waktu itu, hatiku dihujam ribuan bom saat seorang tak ku kenal menghinaku. Aku tidak marah, bahkan tidak menangis. Aku hanya diam seolah tak punya telinga untuk mendengar perkataannya. Aku baru akan lanjut menangis di rumah. Tapi entah ada angin apa yang membuatku sangat geram dengan kata-katanya dan membuatku memutuskan untuk pulang duluan tanpa pamit. Terkesan tidak sopan, tapi ya sudahlah. Aku membanting pintu mobil dengan keras sampai supirku bertanya-tanya, "Kenapa Mbak?" "Enggak apa-apa, Pak. Saya mau pulang." jawabku acuh tak acuh. Di perjalanan pulang pun hari sial it

Pasar Kue Subuh Senen

Tak banyak orang tahu tempat ini. Bagiku, tempat ini adalah tempatku untuk mengadu sepi saat banyak orang berlalu-lalang disana. Bagiku, ini tempat paling istimewa yang pernah aku kunjungi. Pasar Kue Subuh Senen. Pasar yang jaraknya kurang lebih tiga koma lima kilometer dari Menteng. Buka pukul delapan malam, tapi selalu ramai diatas pukul dua belas malam. Aku ingat, pertama kali aku kesini bermula dari percakapan sederhana setelah sholat tahajjud. "Aku bosen, ajak aku jalan-jalan," pintaku. "Kemana?" sahutnya. Ku sandarkan daguku pada bahunya. "Kemana aja, aku lagi enggak ngantuk." "Aku tahu dimana!" Pagi itu, pukul tiga pagi, aku dan dia—seperti biasa—naik Yamaha N-Max warna biru kesayangannya. Turunlah aku ke sebuah pasar. Entah pasar apa, yang aku tahu disana hanya jual berbagai macam kue. Saat pertama kali datang, kami langsung tertarik untuk membeli kue yang dijajakan oleh penjual, lalu setelah itu kami duduk di salah satu