Starbucks Cik Ditiro

Kafe yang masih tergolong kafe baru di daerah Menteng, lokasinya yang terdistract dengan kafe dan restoran hits lain mungkin menjadi penyebab mengapa Starbucks ini hanya ramai pada waktu-waktu tertentu saja.

Sampai sekarang, aku nggak habis pikir kenapa selalu dipertemukan dengan tempat-tempat seperti ini—tempat sepi yang aku temukan sendiri, tempat sepi yang hanya aku yang tahu.

Waktu itu, hatiku dihujam ribuan bom saat seorang tak ku kenal menghinaku. Aku tidak marah, bahkan tidak menangis. Aku hanya diam seolah tak punya telinga untuk mendengar perkataannya. Aku baru akan lanjut menangis di rumah. Tapi entah ada angin apa yang membuatku sangat geram dengan kata-katanya dan membuatku memutuskan untuk pulang duluan tanpa pamit.

Terkesan tidak sopan, tapi ya sudahlah.

Aku membanting pintu mobil dengan keras sampai supirku bertanya-tanya, "Kenapa Mbak?"

"Enggak apa-apa, Pak. Saya mau pulang." jawabku acuh tak acuh.

Di perjalanan pulang pun hari sial itu semakin menjadi saat hujan deras mengguyur Jakarta Pusat, membuat genangan banjir menjebak mobilku di jalan.

"Mbak, di depan macet total karena banjir. Kita bisa sampai rumah satu jam lagi," ucapannya membuatku mendesah berat.

Mataku menangkap sebuah tempat. Starbucks. Tempat biasa, sih. Tapi daripada aku sampai rumah satu jam lagi, mending aku kesana saja pikirku waktu itu.

"Pak, ke Starbucks itu aja. Nanti Bapak cari jalan yang enggak macet, ya. Kalau saya sudah selesai, saya telepon Bapak atau cari ojek mobil aja," ucapku.

Supirku—Pak Adnan—mengantarku ke Starbucks yang ku maksud.

"Nggak papa, Mbak, sendirian?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk dengan senyum terpaksa.

"Hati-hati, ya, Mbak." timpalnya sesaat sebelum pergi.

Aku tidak mau pulang karena aku butuh waktu sendiri untuk menangis. Aku tidak mau pulang karena di kafe ini, aku bisa menumpahkan air mata yang sejak tadi ku simpan.

"Ice Chocolate Signature yang venti satu atas nama Mutiara," pintaku pada seorang barista laki-laki. Alergi cokelat tak mampu membuatku kapok untuk makan atau minum cokelat lagi. Terlebih karena pikiranku kacau, yang aku butuhkan hanyalah segelas es cokelat, tak peduli apakah aku akan mati karena itu.

Setelah pesananku selesai dibuat, aku duduk di sudut kafe, di sebuah kursi yang menghadap pada jendela kafe agar aku bisa melihat rintikan hujan dan kemacetan di Menteng.

"Lo muka dua banget, anjing!"

Kata-kata yang selalu terputar pada memoriku dengan keras, padahal seharusnya telingaku hanya mendengar suara rintikan hujan dari luar.

Air mata yang sejak tadi tertahan pada pelupuk berhasil menetes membasahi pipi. Lega. Aku lega akhirnya bisa menangis sendiri, di tempat ini.

Aku mungkin bisa saja menangis tadi. Tapi tidak. Aku hanya tidak mau terlihat lemah. Memang, siapa yang mau terlihat lemah di depan banyak orang, kan?

Air mata yang berhasil lolos untuk turun semakin lama semakin tak terkontrol, dadaku yang kembang-kempis, emosi yang merasuk pada tubuhku semakin besar.

Sampai pada akhirnya, handphone milikku berbunyi. Sebuah telepon yang mengganggu aktivitasku.

"Lo dimana?" suara dari seberang telepon membuatku tak bisa menjawab apapun. Hanya isakan.

"Lo nangis?!" suaranya meninggi tatkala isakanku semakin jelas terdengar pada sambungan telepon.

Aku mengatur napasku, berusaha menjawab pertanyaannya dengan jawaban santai. "Gue di Starbucks Cik Ditiro. Kenapa?"

"Tunggu, gue kesana!" sahutnya sampai akhirnya memutus sambungan telepon.

Jujur, aku tak mau dia datang kesini. Aku tak lagi bisa menangis kencang seperti ini. Dan dia pasti tahu mengapa aku menangis.

"Jangan nangis..." tak lama, suara itu terdengar di sampingku sangat jelas. Suara yang aku takutkan. Aku takut dia kesini.

Tangannya menepuk bahuku berulang kali, lalu duduk tepat di hadapanku.

"Hapus dulu air matanya. Nggak ada orang yang mau kelihatan lemah, kan?"

Aku semakin kesal karena kedatangannya. "Lo kenapa sih kesini?! Kan gue bilang nggak usah kesini!" suaraku meninggi sampai memenuhi satu kafe yang sepi itu.

Dia diam.

"Kenapa sih selalu lo yang mau repot-repot nyamperin? Kenapa harus lo?!" tubuhku bergetar.

"Karena gue tahu lo butuh gue..."

Jawabannya. Jawaban itu. Mungkin karena jawaban itu aku jadi tahu mengapa aku membutuhkannya. Aku butuh dia karena dia orang yang bisa mendengarkan tanpa harus menceramahi, orang yang bisa memahami tanpa harus membanding-bandingkan. Dia selalu mendengar ceritaku tanpa mengomentari, katanya dia tidak mau mengomentari cerita orang karena ia ingin mengerti orang itu lewat ceritanya.

"Maaf," ucapku. "Maaf karena bikin lo repot-repot kesini."

"Maaf? Ngapain lo minta maaf? Maaf itu nilainya  besar. Lo nggak seharusnya minta maaf ke gue. Simpan kata maaf lo sebanyak-banyaknya, karena gue yakin lo bakal butuh kata maaf buat orang yang lebih penting daripada gue."

"Gue suka disini. Sepi." kataku.

Hening.

Tubuhnya mendekat ke arahku. Tatapan mata yang familiar itu semakin tajam. "Lo nggak perlu hidup jadi kayak apa yang mereka omongin. Lo perlunya hidup sama orang yang nggak akan nyakitin lo lagi."

"Gue udah, kok." elakku. "Udah apanya?" tanya dia. "Gue udah hidup sama orang yang nggak akan nyakitin gue," jawabku sambil tersenyum.

"Siapa?"

"Lo."








Total sudah dua puluh dua kali semenjak tanggal 19 Agustus 2017 aku ke Starbucks Cik Ditiro. Barista-baristanya sampai sudah hapal dengan wajahku. Tak perlu lagi ku sebutkan namaku, mereka juga tahu siapa aku. Aku yang akan membuka pintu Starbucks Cik Ditiro dengan langkah bersemangat sambil berteriak, "Kayak biasa satu!". Aku adalah satu-satunya pelanggan yang pamit terlebih dahulu sebelum pulang dari sana.

Selain Pasar Kue Subuh, tempat ini juga jadi tempat yang istimewa. Tempatku menatap jalanan dari dalam, tempatku menghabiskan waktu berjam-jam, tempatku untuk ingin sekadar mencium aroma kopi yang nikmat.


—Mutiara

Comments

Popular posts from this blog

Jatuh Cintalah pada Penulis