Pasar Kue Subuh Senen

Tak banyak orang tahu tempat ini. Bagiku, tempat ini adalah tempatku untuk mengadu sepi saat banyak orang berlalu-lalang disana.

Bagiku, ini tempat paling istimewa yang pernah aku kunjungi.

Pasar Kue Subuh Senen.

Pasar yang jaraknya kurang lebih tiga koma lima kilometer dari Menteng. Buka pukul delapan malam, tapi selalu ramai diatas pukul dua belas malam.

Aku ingat, pertama kali aku kesini bermula dari percakapan sederhana setelah sholat tahajjud. "Aku bosen, ajak aku jalan-jalan," pintaku.

"Kemana?" sahutnya.

Ku sandarkan daguku pada bahunya. "Kemana aja, aku lagi enggak ngantuk."

"Aku tahu dimana!"

Pagi itu, pukul tiga pagi, aku dan dia—seperti biasa—naik Yamaha N-Max warna biru kesayangannya.

Turunlah aku ke sebuah pasar. Entah pasar apa, yang aku tahu disana hanya jual berbagai macam kue. Saat pertama kali datang, kami langsung tertarik untuk membeli kue yang dijajakan oleh penjual, lalu setelah itu kami duduk di salah satu kursi yang menghadap langsung ke arah pedagang yang sibuk berlalu-lalang.

Aku diam. Hanya terdiam. Tak ada ekspresi apapun yang mampu ku tunjukkan.

"Enggak suka, ya, tempat ramai kayak gini?" tanyanya ragu.

"Suka, kok." aku tersenyum lebar. Tidak. Tidak sedang bersandiwara. Aku memang suka dengan tempat ini. Tempatku bersua mengadu sepi dan kenang.

Saking lamanya aku diam, serabi dan dadar gulung kesukaanku habis begitu saja.

"Disini setiap hari ramai, ya, bu?" tanyaku pada ibu-ibu penjaja kue yang sedang istirahat.

"Iya mbak. Disini ramai sekitar jam dua sampai jam lima pagi, soalnya orang-orang yang beli disini biasanya dijual lagi. Jadi mereka enggak untuk makan sendiri," tuturnya.

"Ooh..." aku mengangguk paham.

"Ayo cobain mbak, siapa tahu suka." ia memberikanku satu cakwe dengan percuma.

Aku suka. Selain karena aku suka kuenya, aku suka tempatnya. Aku suka suasananya. Aku suka orang-orang disini. Ibu itu, penjual pertama yang aku ajak ngobrol disini. Mak Cici namanya.

"Tahu kenapa aku diam?" aku menoleh ke arahnya.

"Kenapa?"

"Karena aku... belum pernah tahu tempat ini sebelumnya. Selain karena kuenya, tempat ini punya suasana yang bisa bikin aku enggak lagi kesepian. Tempat ini punya orang-orang ramah yang selalu mau berbagi cerita denganku,"

Mak Cici, Bang Dede, Kang Sofyan. Mereka-mereka yang selalu menunggu kehadiranku pukul tiga pagi tiap kali aku pulang ke Jakarta.

Aku juga menantikan Pasar Kue Subuh tiap kali aku pulang ke rumahku di Menteng. Aku rindu mereka.

Tiap kali aku dan Nathan butuh tempat untuk mendiamkan diri, disini tujuan kami. Tiap kali aku bilang kalau aku merasa kesepian, dia selalu mengantarku kesini. Kami selalu duduk di kursi plastik biru sebelah penjual kue lemper bakar. Kami bisa melihat suasana pasar yang ramai, sama seperti hati kita.

Iya. Sebetulnya, hatiku dan hati Nathan sedang ramai tiap kali kami berkunjung ke Pasar Kue Subuh. Hanya saja... mulut kita tak lagi mampu terbuka untuk memulai sebuah obrolan. Kita hanya bisa tertegun, dirundung diam, namun hati menyimpan beribu kata.

Comments

Popular posts from this blog

Jatuh Cintalah pada Penulis

Teruntuk Jiwa yang Rapuh

Taruhan Paling Serius